Kamis, 21 Juni 2012

kasus2 HAM

KASUS-KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA OLEH: FITRIA NM A. Pengertian Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) B. Kasus-Kasus pelanggaran HAM di Indonesia a). Kasus Trisakti Dan Semanggi kompas Rabu, 05 .03. 03 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak DPR agar mengubah keputusannya yang menyatakan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi I-II bukan pelanggaran berat HAM. Untuk itu, dalam waktu dekat Komnas HAM akan mengirim surat kepada pimpinan DPR. "Karena kami menganggap peristiwa Trisakti dan Semanggi pelanggaran HAM berat, jadi seharusnya DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc," kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/3). Hakim menjelaskan, tindakan Pansus DPR yang mengeluarkan rekomendasi bahwa peristiwa Trisakti dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat telah melampaui kewenangannya. Sebab, yang berhak menentukan terjadinya pelanggaran adalah wewenang institusi, penyelidikan, penyidikan dan pengadilan. "Kita akan desak DPR untuk memperbaiki keputusan itu," tegasnya. Rapat paripurna DPR menyetujui kesimpulan Pansus Trisakti/Semanggi yang merekomendasikan kasus Trisakti dan Semanggi diselesaikan melalui pengadilan umum/militer. Hal kemudian diperkuat dengan pernyataan pimpinan DPR yang mendukung penolakan sejumlah perwira TNI/Polri menolak panggilan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti/Semanggi. Saat ini berkas hasil penyelidikan KPP HAM tersebut berada di tangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurut Hakim, seharusnya Kejagung mestinya tidak ragu menindaklanjuti kasus itu ke tingkat penyidikan. Kasus Mei Komnas HAM hari ini, Rabu (5/3) mengadakan rapat pleno untuk memutuskan apakah Kerusuhan Mei 1998 akan ditindaklanjuti secara pro-justisia. Rapat pleno tersebut sempat tertunda karena seluruh anggota Komnas menemui puluhan massa yang mengaku keluarga korban pelanggaran HAM Tanjungpriok, Talangsari, Trisakti, Semanggi I dan II, serta penculikan aktifis. Mereka mempertanyakan keseriusan Komnas dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) menuntut Komnas membentuk KPP Kasus Penghilangan Orang Secara paksa. Ikohi berpendapat, pengadilan militer tahun 1998 terhadap Tim Mawar Kopassus sama sekali tidak berhasil mengungkap tabir peristiwa itu. Dari data Ikohi periode 1997-1998, 23 orang dilaporkan dihilangkan secara paksa. Dari jumlah itu 9 orang telah dikembalikan, satu orang ditemukan meninggal. Menanggapi tuntutan itu, Abdul Hakim meyakinkan bahwa Komnas HAM sedang memproses hasil penyelidikan semua pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Misalnya, Komnas akan mengkaji ulang hasil KPP HAM Talangsari dan telah membentuk Tim Penyelidik Kasus Pelanggaran HAM yang Dilakukan Mantan Presiden Soeharto b). Peristiwa G30S/PKI Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi pada Jumat subuh. Saat itu terjadi penculikan disertai pembunuhan terhadap tujuh Jenderal Angkatan Darat. Drama pembantaian para Jenderal ini juga menewaskan anak Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani. Versi buku putih Pemerintah menuturkan, hanya dua hari setelah pembantaian itu, Brigjen Soeharto berhasil mengendalikan suasana. Dengan bekal Supersemar diapun memberangus PKI, yang diakini sebagai pelaku makar, sampai ke akar akarnya. Penanganan kasus G30S, menurut Asvi Marwan Adam, jika akan diselesaikan oleh lembaga KKR bakal menuai kesulitan yang amat sangat. Tidak hanya soal banyaknya versi cerita seputar kejadian. Tapi masyarakat masih trauma dengan tragedi tahun 1965 itu. Peristiwa G30S, banyak peneliti melihat, merupakan puncak tragedi setelah terjadi serentetan peristiwa politik yang melibatkan massa PKI dan massa non PKI. Hasil penelitian Hermawan Sulistiyo di Jawa Timur membuktikan itu. Dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Hermawan menulis bahwa ada serentetan peristiwa perebutan tanah yang menciptakan letupan konflik-konflik kecil di berbagai daerah di Jawa Timur. Dan peristiwa yang sering meminta korban jiwa dari pihak santri NU itu memunculkan trauma dendam berkepanjangan. Karena itu, menurut Hermawan, saat PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena dianggap menjadi otak kudeta politik tahun 1965, dan terjadi perburuan besar-besaran terhadap aktivis PKI, pembantaian yang terjadi di Jatim sungguh sangat besat, baik dalam skala jumlah maupun tingkat kesadisannya. Hardoyo, mantan Ketua Umum CGMI periode 1960-1963 pun kemudian menggugat dengan ketus. ''Makanya peristiwa pembantaian sipil pasca 1 Oktober juga harus diungkap tuntas. Ini pembantaian terbesar dengan korban 1 juta lebih rakyat yang belum tentu berdosa,'' katanya tandas. Baik Hardoyo maupun Asvi sepakat, kalaulah KKR berperan dalam menyelesaikan kasus G30S, maka peristiwa itu harus dipilah dua. Pertama penanganan kasus sebelum 1 Oktober. Kedua penanganan setelah 1 Oktober 1965. ''Dengan begitu akan lebih adil,'' tambahnya. Meski bakal menggerus aktivis PKI, Hardoyo sendiri setuju bahwa siapapun yang terlibat dalam kasus 1 Oktober harus dihukum. ''Kita tidak peduli apakah ada oknum PKI yang terlibat, tentara terlibat, Soeharto terlibat, itu harus diselesaikan tuntas.'' Hardoyo juga menambahkan, ''Peristiwa sesudahnya juga harus diperlakukan sama. Karena korbannya lebih besar.'' Seiring dengan arus reformasi, kini banyak versi buku terbit khusus untuk membahas soal peristiwa politik yang paling menghebohkan ini. Pemerintah jelas secara resmi menerbitkan buku putih. Dalam buku itu, Brigjen Soeharto sangat tergambar sebagai pahlawan yang begitu terpuji. Kesadisan peristiwa itu detil sekali tergambar, meskipun belakangan banyak yang menggugat. Jumlah korban pasca 1 Oktober, saat tentara memburu para aktivis PKI tidak disebut sama sekali. Sementara sejauh mana keterlibatan Soeharto dalam peristiwa itu pun kini muncul banyak versi. Buku Pledoi-nya Latief secara jelas mengungkap bahwa Soeharto masuk dalam bagian rekayasa G30S itu. Begitu juga soal kekejaman Gerwani dalam penculikan para Jenderal. Pernyataan terakhir para saksi mata kepada Metro TV menyatakan bahwa tidak ada penyiksaan dalam penculikan itu. Yang menarik adalah dokumen CIA yang sempat ditarik oleh pemerintah AS setelah Megawati berkuasa. Dalam dokumen itu memang secara jelas disebutkan bahwa CIA terlibat dalam pengganyangan PKI di Indonesia. Meskipun kemudian pemerintah AS membantahnya. Dalam banyak versi buku seputar G30S, inilah pekerjaan berat bagi KKR di masa yang akan datang. Apapun, kita patut menunggu kiprah KKR dalam soal penanganan kasus ini. c). Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo Rabu, 2008 Mei 07 Jangan lupakan kasus pelanggaran HAM terberat di negara ini di era deformasi (bukan reformasi) adalah: Kasus Lumpur Lapindo. Jika ini dilupakan, dan Komnas HAM tidak mem-projustisia kasus ini maka kita telah gagal kesekian kalinya Hingga hari ini semburan lumpur Lapindo sampai pada fase yang terus mengkhawatirkan, dengan korban terus bertambah. Akibat semburan lumpur yang hampir genap dua tahun itu telah semakin memperberat dan memperluas penderitaan sosial (great social suffering). Jika semburan lumpur itu berjalan hingga 50 tahun, Greenomics menghitung biaya penanggulangan masalah lumpur Lapindo itu akan menjadi Rp. 756 triliun (Hukumonline.com, 13/2/2007). Sedangkan trio pemegang partisipating interest Blok Brantas yang terdiri dari Grup Bakrie, Medco dan Santos menanggung hanya Rp. 5 triliun sesuai janji mereka yang berlindung di balik jubah Perpres No. 14/2007. Unsur kesengajaan Kejaksaan RI hingga kini tampak ragu dengan setumpuk alat bukti pidana kasus semburan lumpur itu, maka patut dipertanyakan. Pasalnya, selain telah adanya berbagai alat dan barang bukti, ada juga acuan dokumen otentik, yaitu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang sudah sangat gamblang menjelaskan berbagai pelanggaran dalam proses peralihan Blok Brantas hingga kesalahan proses eksplorasi. Kejaksaan seharusnya tidak terjebak dalam kancah perbedaan pendapat para ahli geologi. Bukankah selama ini para koruptor yang diadili juga ‘menyewa’ ahli dan perkaranya tetap dibawa ke pengadilan? Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul. Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu. Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi jika semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya, maka unsur ‘kesengajaan’ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK juga menemukan banyaknya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi, kasus semburan lumpur Lapindo itu bukan ‘kelalaian’ tapi sengaja menabrak rambu-rambu keselamatan sosial. Pelanggaran HAM berat Melihat fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu. Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …” Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi ‘pelanggaran HAM berat’ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health. Maka Komnas HAM selaku lembaga independen seyogyanya dijadikan komisi yang tak sebatas selaku penyelidik, tapi juga sebagai penyidik dan penuntut khusus dalam kasus pelanggaran HAM berat. UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 harus diperbaiki guna menambah fungsi dan wewenang Komnas HAM itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar