Kamis, 21 Juni 2012

EPISTEMOLOGI HUMANISTK

EPISTIMOLOGI HUMANISTIK Oleh: Fitria NM A. Pengertian Epitimologi Humanistik Epistimologi berasal dari bahasa yunani ”episteme” yang berarti pengetahuan dan ”logos” yang berarti ilmu. Epistimologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat dan jenuis pengetahuan. Epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunujukan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistimologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sitematik mengenahi pengetahuan. Sedangkan humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950-an, sebagai reaksi terhadap bahaviorisme dan psikoanalisis. Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam perkembangan teori psikologis. Sejak semula epiatimologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistimologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauantfisika sendiri. Sehingga tidak ada sesuatupun yag boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah didalam kehidupan sehari-hari. Apa yang termaktub didalam konspsi Descartes mengenahi kehidupan mental, sebagaimana diperkembangkanya didalam pemikiranya yang matang, adalah bahwa data dari kesadaran adalah melulu keadaan subyektif. Ini memuat didalam kemampuanya untuk menkonsepsikan semua data pengalaman tanpa adanya referensi obyektif dlam dirinya sendiri. Persoalan subyektiv sangalah penting, sebab hal ini membawa kita kepada pertanyaan: jika semua dari kesadaran saya pada awalnya mempunyai nilai eksklusif dari suatu keadaan subyektif dari jiwa individual saya sendiri, bagaimana saya pernah tahu tentang kodrat sesuatu yang lain dari diri saya?atau bahkan bagaimana saya bisa sampai pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang berbeda dari diri saya sendiri?hal ini meripakan persoalan yang digulati oleh filsafat moder sejak decartes. Tetapi masalahnya bukan saja kusus bagi Decartes, sebab caranya memandang kesadaran adalah suatu cara yang merangsang setiap budi manusia pada suatu tingkat tetentu refleksinya. Ini merupakan pandangan kaum idealis. Maka disini perlu dibedakan antara kaum realis epistimologis dengan kaum idealis epistimologis, pada dasarnya adalah: a) Realisme epistimologis berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan apa yang lain dari diri saya. b) Idealisme epistimologis berpwndapat bahw setiap tindakan mengetahui barakir didalam suatu ide, yang merupakan suatu subyektif murni. Persoalan bagi idealis epistimologis atau subyektivis adalah bagaimana, berdasarkan konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri? Rupanya seorang idealis sungguh-sungguh akan menemukan kesulitan untuk menghindari kesimpulan solipsistik apa yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa mereka mulai dengan mengambil titik tolak subyektivis, akhirnya percaya bahwa mereka telah menemukan sesuatu bentuk kesadaran yang merupakan kekecualian dari status subyektif murni dan yang juga mempunyai referensi obyektif. Bila merka tidak melakukan hal itu, maka mereka akan terkurung dalam kadaan jiwa individual mereka sendiri untuk selamanya. B. Ciri-Ciri Epistimologi Humanistik Awalnya, kaum humanis menjadikan seni sebagai media untuk mempengaruhi perasaan kalangan awam dan tak berpendidikan, karena pada awal-awal kebangkitan humanisme kesenian masih ada dikalangan kaum agamis yang menjadikan kekristenan sebagai tema-tema seni. Ketika para humania merasakan kebutuhanya kepada seni, maka seni akan diarahkan kepada obyek-obyek materialistik, kebendaan dan sesuatu yan profan. Karna itu semaraklah pembuatan patung-patung atau lukisan-lukisan telanjang yang mempertontonkan keindahan fisik wanita dan pria. Dengan demikian, sedikit sekali faktor spiritual yang bterlihat dalam gelanggang seni humanistik. Manusia dipandang sebagai makluk yang selalu berusaha memahami lingkunganya: Makluk yang selalu berfikir (homo sepiens). Decartes dan kant menyimpulkan bahwa jiwalah yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indra. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Dalam era renaisans sebagian kaum humanis mengambil sikap yang moderat dalam masalah kebebasan berfikir, akan tetapi sebagian yang lain adalah sebaliknya, mereka tak memiliki kecenderungan kepada agama. Adapun diantara ciri-ciri kaum humanis beragama adalah: 1. Mereka mengupayakan reformasi keagamaan yang antara lain dengan cara menghapus peranan para penguasa gereja sebagai perantara antara tuhan dengan manusia 2. mereka memandang penafsiran-penafsiran para pemuka gereja mengenai kitab suci banyak diwarnai dengan tendensi-tendensi untuk memegang kekuasaan 3. Ajaran-ajaran era klasik mereka anggap sebagai ajaran yang sejalan dengan fitrah sebagaimana ajaran kristen 4. Mereka mengajukan gagasan toleransi demi keharmonisan antar agama 5. Menurut mereke agama adalah agama untuk dunia fana ini. Sedangkan ciri-ciri para humanis tak beragama ialah: 1. Mereka melepaskan agama dan memilih dunia, karena agama dan dunia mereka pahami sebagai dua kategori yang kontras satu sama lain 2. Mereka menganggap kekristenan sebagai semacam mitos, dan menentang sikap rendah diri, ketaqwaan, dan keterikatan batin kepada dunia akhirat 3. Mereka menentang keabadian ysng dijanjikan Tuhan. Keabadian dimata mereka berupa monumental didunia. Nama baik, lukisan, dan patung orang-orang yang berkarya besar mereka anggap sebagai manifestasi keabadian tersebut 4. Keyakinan kepda astrologi, khurafat, dan kekuatan-kekuatan majis, mereka jadikan sebagai keyakinan kepada alam supranatural. Lain halnya dengan Soren Kierkegaard, Dia merupakan orang pertama yang mengungkapkan nada eksistensial modern. Pandangan kierkegaard mungkin dapat dijelaskan melalui tama sentralnya mengenahi apa yang dimaksud dengan ”akal yang bereksistensi”. Kierkegaard menyatakan bahwa ketepatan konseptual tidak aka pernah mampu untuk memaksa persetujuan didalam diri manusia. Manusia bikan hanya akal, tetapi dia adsalah akal yang bereksistensi. Eksistensinya memasukan baji diantara pikiranya dan ide. Manusia bukanlah suatu silogisme, bukan pula suatu tahap dalam sistem yang menyataka diri. Mungkin ada sistem dari abstraksi, tetapi tidak ada sistem dari eksistensi. Manusia bereksistensi dan eksistensinya meletakanya dalam tata ekstra-konseptual, sehingga faliditas konsep tidaklah desisif. Kierkegaard menganggap sokrates sebagai contoh dari pandangan ini, dan ajaran mengenai ingatan sebagai ekspresinya. Sebab apa yang diberikan oleh ajara mengenahi ingatan bahwa manusia sekaligus termasuk dalam kebenaran. Kierkegaard mendefinisikan kebenara sebagai ”suatu ketidakpastian obyektif yang dipertahankan didalam poses-pemberian dari pembatinan yang paling mendalam”. Pokoknya ialah kebenaran diungkapan kepada eksistensi dan tidak ada cara untuk menegaskanya atau menyatakanya secara abstrak. Beberapa hal yang perlu ditekankan ialah: Pertama, Peranan subyektivitas bukanlah suatu keadaan faktual yang merugikan. Subyektifitas bersifat esensial. Jenis tertentu intelligibilitas hanyalah tersedia melalui subyektifitas. Menghapuskan subyektifitas berarti berarti menghapuskan intiligiblitas Kedua, Inteligibilitas dapat diterapkan hanya kepada suatu jenis kebenaran tertentu. Kierkegaard membuat perbedaan antara jenis kebenran faktual dan kebenaran filosofis. Kebenaran filosofis tidak hanya merupakan pelukisan sifat-sifat tertentu dalam suatu pengalaman, tapi merupakan pelukisan arti dan nilai dari pengalamanya sendiri. Ketiga, formula ”kebenaran ialah subyektifitas”. Bila kebenaran-kebenarab tertentu muncul karena diintegrasikan kedalam eksistensiku maka tidaklah salah untu mengatakan bahwa saya adalah kebenran-kebenaran ini. C. Kelebihan dan kritik terhadap epistimologi humanistik Filsafat pengetahuan merupakan usaha untuk membiarkan pikiran untuk mencapai pengenalan akan esensinya sendiri: usaha pikiran untuk mengekspresikan dab menunjukan kepada dirinya sendiri dasar-dasar kepastian yang kokoh. Kita menemukan bahwa permasalahan epistimologi muncul dari ambivalensi keadaan manusia: manusia sekaligus ada dan tidak ada bagi pengalamanya sendiri. Ketidak-klopan antara eksistensi manusia terhadap dirinya sendiri, yang merupakan bukti dari keterbatasan dan temporalitasnya, juga tampak didalam ketidak klopan antara pengetahuan dengan dirinya sendiri. Pada epistimologi humanistik, manusia menetukan cinta,kretivitas dan pertumbuhan pribadi yang ada dalam dirinya. Epistimologi humanistik mengambil banyak dari fenomenologi dari eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam ”dunia kehidupan” yang dipresepsi dan diintrepretasikan secara subyektiv. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. Sementara pikiran manusia ditandai oleh pembedaan kesan atau kenyataan, pembedaan ini tidak dapat membuat seluruh pikiran terungkap tuntas, karena pikiran tidak dapat menyelesaikan sampai dasarnya: eksistensi manusia yang bertanya. Dengan kesadaran ini, subyektivisme diatasi. Menurut Alferd schutz, pengalaman subyektif ini di komunikasikan oleh faktor sosial dalam proses intersubyektivitas. Intersubyektifitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri dengan orang lain, atau apa yang disebut martin buber ”I-thou Relationship. Istilah ini menunjukan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda: subyek dengan subyek, bukan subyek dengan obyek. Carl Rongers menggarisbesarkan pandangan humanisme sebagai berikut: . 1. Setiap manusia hidup dalam dua pengalaman yang bersifat pribadi dimana dia – sang Aku, Ku, atau Diriku ( the, I, me, or myself)- menjadi pusat 2. Manusia berprilaku untuk mempertahankan, meningkatkan dan mengaktualisasikan diri 3. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya 4. Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahana diri 5. Kecenderungan batiniyah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri Humanisme adalah sebuah gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian menjalar kenegara-negara eropa lainya. Gerakan ini menjadi salah satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikanya sebagai kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek. Sedangkan humanisme dalam islam adalah sebuah gerakan yang mempunyai spirit egaliter dan mempunyai tujuan atau visi yang sama yakni untuk mengkajiseluruh filsafat yunani kuno dan arab klasik. Dan tentu saja berbeda dengan humanisme yang ada dalam kajadian renaisans italia bahkan renaisans eropa yang terjadi pada abad 19 yang pada dasarnya mereka berorientasi pada masalah sastra dan budaya yunani klasik saja. Akan tetapi sebagian para shli humanis berpendapat bahwa terjadinya renaisans di eropa dan itali itu tidk dapat keluar dari pengaruh renaisans islam yang ditandai dengan hadirnya humansme dalam abad pertengahan islam. Humanisme membela kebebasan manusia untuk merancang sendiri kehidupanya didunia dengan cara merdeka. Humanisme memandang instruksi-instruksi traditional para pemuka agama bukan sebagai perintah yang akan membantu ebagai urusan yang mesti dilaksanakan, melainkan sebagai kendala dan rintangan bagi manusia. REFERENSI: Hadi, P. Hardono, epistimologi, Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI), 1994 Baharuddin, Pendidikan Humanistik, Konsep Teori Dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan Budiman, Arief dkk, mencari konsep manusia indonesia sebuah bunga rampal, jakarta: erlangga.1986 Suriasumantri, Jujun S, Filsafat ilmu sebuah pengantar populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2003 Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas Fakhri, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya. 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar